Chrome Pointer -->

Iklan Billboard 970x250

SEJARAH DAN KODIFIKASI HADIST

Iklan 728x90

SEJARAH DAN KODIFIKASI HADIST

 

SEJARAH DAN KODIFIKASI HADIST


A.    Definisi kodifikasi hadist

Kodifikasi hadits dikenal juga dengan tadwin al-hadits yaitu codifikation/ pengumpulan, penyusunan, penulisan dan pembukuan hadits Nabi atas perintah resmi dari penguasa negara (khalifah) bukan dilakukan atas inisiatif perorangan atau untuk keperluan pribadi. Kodifikasi hadist yang di maksud di sini adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan hadist yang berdasarkan perintah resmi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke delapan Bani Umayyah yang kemudian kebijakan itu di tindak lanjuti oleh para ulama di berbagai daerah hingga masa berikutnya sehingga jadilah buku-buku tentang hadist.

B.     Sejarah kodifikasi hadist

Munculnya ide kodifikasi hadist adalah ketika zaman khalifah Umar bin Khattab pada saat itu khalifah Umar bermusyawarah dengan para sahabat dan hasilnya para sahabat setuju dengan kodifikasi hadist, tetapi sekian lama istikhara khalifah Umar menyimpulkan untuk tidak melakukannya karena khawatir umat Islam banyak yang berpaling dari Al Qur’an.

Sebagaimana dalam kitab thabaqat bin saat dan tadzkirah al huffazh bahwasanya pengumpulan hadish sudah di mulai pada zaman Abdul Aziz bin Marwan, menurut mayoritas ulama hadist apa yang terjadi di masa Abdul Aziz lebih bersifat gagasan, ataupun kalau terjadi kodifikasi lingkupnya lebih sempit karena hanya dalam batas wilayah mesir. Dengan demikian, kodifikasi hadist secara resmi terjadi pada pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan.

Sejarah hadist nabi hadist:

1.      Masa nabi muhammad SAW

2.      Masa khulafaur rasyidin

3.      Masa sahabat kecil dan tabiin

4.      Masa kodifikasi

5.      Hadist pada masa awal sampai akhir abad ke-III

6.      Hadist pada abad IV sampai pertengahan abad ke VII

7.      Masa abad pertengahan VII sampai sekarang

Berikut dibawah ini penjelasannya:

1.      Masa Nabi Muhammad SAW

Masa ini dikenal dengan ‘Ashr al-Wahy at-Takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan.Karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak hadist-hadistNabi yang datang darinya.Ayat-ayat Al Qur’an dan hadist Nabi menjadi sumber dan petunjuk dan sumber kebahagiaan bagi para sahabat nabi yang belum pernah mereka temukan di zaman jahiliyah. Bahkan para sahabat berusaha menghafal Al Qur’an juga selalu ingin berjumpa dengan Rasulullah untuk mendapatkan ajaran beliau dan hadist-hadist beliau, bahkan hadist menjadi sumber ajaran islam kedua setelah Al Qur’an.

Secara sengaja para sahabat membagi tugas untuk mendapatkan informasi dari Rasulullah SAW.Bahkan para kepala suku yang jauh dari Madinah mengutus seseorang untuk mendapatkan informasi dari Rasulullah SAW.Tetapi pada masa Nabi sedikit sahabat yang bisa menulis sehingga yang menjadi andalan dalam tulisan mereka adalah ingatan mereka.Karena Allah mmberi keistimewaan kepada para sahabat yang menghafalkan dan daya ingat yang tinggi.Mereka dapat meriwayatkan hadist dalam bentuk syair dll.

Dalam menyampaikan hadist-hadistnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu:

1)      Melalui majlis al-’ilm (pusat/tempat pengajian)

2)      Melalui para sahabat

3)      Melalui istri-istri Nabi

4)      Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka

5)      Melalui perbuatan langsung

Pada masa Nabi, hadits belum dikodifikasi secara resmi sebagaimana yang terjadi pada beberapa tahun berikutnya.Rasulullah tidak pernah memerintah sahabat untuk menulis atau membukukannya sebagaimana Al-Qur’an. Bahkan Nabi melarangnya, karena khawatir nantinya hadits tercampur dengan Al-Qur’an yang saat itu masih dalam proses penurunan. Kebanyakan penyebaran hadits oleh para sahabat dilakukan secara lisan.

2.      Masa Khulafaur Rosidin

Masa ini dikenal dengan at-tatsabbut wa al-iqlal min al-riwayah, yaitu masa pembatasan dan memperketat periwayatan. Pada masa ini periwayatan hadist terjadi sejak 11 H sampai 40 H, yang disebut juga masa sahabat besar, belum begitu berkembang.

Setelah nabi wafat, para sahabat tidak lagi mendengarkan sabda dan tidak lagi melihat tindakan atau perilaku Nabi Muhammad SAW.Dan setelah itu munculah istilah kritis dalam pembahasan hadist untuk menunjukkan kepedulian para sahabat terhadap kebenaran hadist.Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits. Pada sisi yang lain, meskipun perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka terima secara utuh ketika Nabi masih hidup.

Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits, yaitu dengan cara:

1)      Bersikap cermat dan hati-hati dalam periwayatan hadits.

2)      Melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat.

3)      Mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits.

4)      Meminta sumpah dari periwayat hadits.

5)      Menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.

Khalifah pertama sangat menjaga kebenaran hadist dan pengambilan keputusan dengan sangat ketat dalam masalah periwayatan hadist. Dan juga apa yang dilakukan oleh khalifah kedua yaitu khalifah Umar bin Khattab seperti halnya apa yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar dalam mengambil keputusan tentang periwayatan hadist. Antisipasi yang dilakukan oleh para sahabat tentang kekeliruan tidak dibiarkan terus berlanjut dengan cara mengingatkan atau menegur dan juga menjelaskan letak kekeliruan dan mengkajinya lebih lanjut.

3.      Masa sahabat kecil dan thabi’in

Masa ini dikenal dengan ‘ashr intisyar al-riwayah, yaitu masa dimana hadits tidak lagi hanya berpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.

Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga mereka tidak mengkhawatirkan lagi. Selain itu, pada masa akhir periode Utsman bin Affan para ahli hadits sudah menyebar ke beberapa wilayah Islam dan ini menjadi kemudahan bagi thabi’in untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Kemudian muncul sentra-sentra hadits diberbagai wilayah, seperti Madinah, Makk’ah, Kufah, Basrah, Syam dan Mesir.

Ada beberapa pendapat tentang hukum kodifikasi hadist:

1)      Larangan penulisan hadist terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan.

2)      Larangan penulisan hadist itu di tunjukkan pada orang yang kuat hafalannya dan tidak dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-Qur’an. Izin menulis hadist diberikan kepada orang yang pandai menulis dan tidak dikhawatirkan salah serta bercampur dengan Al-Qur’an.

3)      Larangan itu ditunjukkan bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan tulisanya keliru, sementara yang pandai menulis tidak dilarang menulis hadist.

4)      Larangan menulis hadist dicabut ( dimansukh) oleh izin menulis hadist, karena tidak dikhawatirkan tercampurnya catatan hadist dengan Al-Qur’an.

5)      Larangan itu bersifat umum, sedangkan penulisan hadist bersifat khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan catatan hadist dan catatan Al-Qur’an

6)      Larangan berlaku ketika wahyu  masih turun, belum dihafal dan dicatat, maka penulisan harus diwajibkan.

Ada sebagian sahabat yang memiliki catatan yang disebut dengan shahifah untuk mencatat sebagian hadist yang diterima dari Nabi. Diantara sahabat juga ada yang mendapat catatan hadist Nabi, Abdullah bin Amr bin Al Ash dengan catatan yang diberikan Nabi adalah as-shodiqah.

4.      Masa kodifikasi

Pada masa ini terjadi kegiatan kodifikasi hadits pada masa pemerintahan Islam Umar bin Abdul Aziz (99 H-101 H), khalifah ke-8 Bani Umayyah.

Malik bin Annas sebagai penyusun kitab al-Muwatta, sebuah kitab yang selesai disusun pada tahun 143 H dan merupakan kitab hasil kodifikasi yang pertama dan dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Kitab ini selain berisi hadits marfu’ (hadits yang disandarkan kepada Nabi) juga berisi hadits mauquf (pendapat para sahabat) dan hadits maqthu’ (pendapat para thabi’in).

Kodifikasi hadist juga pernah menjadi bahasan utama dalam kitab adwa ala alussunah waljamaah didalam penjelasan kodifikasi hadist membutuhkan tidak kurang dari 9 artikel dan buku yang menjelaskan tentang hadist.

5.      Kodifikasi hadist pada abad ke tujuh sampai sekarang

Kodifikasi yang dilakukan di abad ketujuh dengan metode  menertibkan isi kitab-kitab hadist, menyaringnya, serta menyusun kitab-kitab takhrij membuat kitab-kitab jami’ yang bersifat universal, kitab-kitab yang mengumpulkan hadist hukum mentakhrij hadist-hadist yang terdapat dalam sebuah kitab. Mentahrij hadist-hadist yang populer diwarga. Menyusun hadist diiringi dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadist-hadist shohih bukhori, serta shohih muslim. Periode ini memanglah tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya disaat timbul kitab-kitab hadist yang model penyusunannya nyaris sama seperti kitab-kitab tahkrij athrof kecuali penyusunan serta pembukuan hadist-hadist yang tidak ada dalam kitab hadist tadinya dalam suatu kitab yang diketahui dengan sebutan kitab zawaid. Kitab zawaid antara lain: zaaid ibn majah suatu hadist yang berisi hadist-hadist yang diriwayatkan ibnu majjah yang tidak terdapat pada kitab lain.

Kitab-kitab yang disusun pada abad ini antara lain adalah:

1)      Subul as-salam oleh muhammad bin ismail al-shan’ani

2)      Fath al-allam shiqid hasan khan

3)      Al jami’ ashogir min al hadist al bashir al nadziroleh as-syayuti yang di syarahkan oleh imam abdur rauf al nawawi yang berjudul  fayd al qadir dan oleh ali bin muhammad al-izzi dengan judul as-sirat al-munir

4)      Lubab al hadist  oleh asuyuthi yang di syarah kan oleh tanqih al-qawl al-hadist.

Faktor-faktor terjadinya kodifikasi hadist:

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kodifikasi hadits pada masa Umar bin Abdul Aziz, yaitu:

1)      Para ulama hadits telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadistakan hilang bersama dengan wafatnya mereka.

2)      Banyak berita palsu yang dibuat oleh pelaku bid’ah yang berupa hadits palsu.

Faktor-faktor terjadinya kodifikasi hadist ada 2 faktor yaitu internal dan eksternal:

·         Faktor internal:

1)      Pentingnya menjaga autentitas dan eksistensi hadist.

2)      Semangat untuk menjaga hadist sebagai salah satu warisan Nabi Muhammad.

3)      Semangat keilmuan yang tertanam dalam diri umat Islam saat itu termasuk di dalam aktifitas izin untuk menulis hadist pada saat itu.

4)      Adanya kebolehan dan izin menulis pada saat itu.

5)      Para penghafal dan periwayat hadist banyak yang meninggal karena perang ataupun lainya.

 

·         Faktor eksternal:

1)      Penyebaran Islam yang daerah kekuasaannya semakin luas dan tersebar di berbagai daerah.

2)      Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadist yang disebabkan oleh perbedaan politik dan aliran.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas kita dapat mengetahui sejarah kodifikasi hadist yang pernah terjadi sejak masa Nabi sampai masa kodifikasi hadist itu sendiri.Hal tersebut dapat membantu kita dalam melihat dan memahami sejarah kodifikasi hadist yang terjadi.

Dari pembahasan yang telah dijelaskan diatas kita juga dapat menyimpulkan bahwasannya sejarah kodifikasi sebenarnya sudah dimulai ketika masa khalifah Umar bin Khattab tetapi urung dilaksanakan dan alasannya tidak dapat diketahui. Oleh karena itu, secara resmi kodifikasi hadist terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.



Baca Juga
SHARE
Subscribe to get free updates

Related Posts

Post a Comment

Popular posts from this blog

Iklan Tengah Post