SEJARAH DAN KODIFIKASI HADIST
SEJARAH DAN KODIFIKASI HADIST
A.
Definisi
kodifikasi hadist
Kodifikasi
hadits dikenal juga dengan tadwin al-hadits yaitu codifikation/
pengumpulan, penyusunan, penulisan dan pembukuan hadits Nabi atas perintah
resmi dari penguasa negara (khalifah) bukan dilakukan atas inisiatif perorangan
atau untuk keperluan pribadi. Kodifikasi hadist yang di maksud di sini adalah penulisan,
penghimpunan, dan pembukuan hadist yang berdasarkan perintah resmi dari
khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke delapan Bani Umayyah yang kemudian
kebijakan itu di tindak lanjuti oleh para ulama di berbagai daerah hingga masa
berikutnya sehingga jadilah buku-buku tentang hadist.
B.
Sejarah
kodifikasi hadist
Munculnya ide
kodifikasi hadist adalah ketika zaman khalifah Umar bin Khattab pada saat itu
khalifah Umar bermusyawarah dengan para sahabat dan hasilnya para sahabat
setuju dengan kodifikasi hadist, tetapi sekian lama istikhara khalifah Umar
menyimpulkan untuk tidak melakukannya karena khawatir umat Islam banyak yang
berpaling dari Al Qur’an.
Sebagaimana
dalam kitab thabaqat bin saat dan tadzkirah al huffazh bahwasanya pengumpulan
hadish sudah di mulai pada zaman Abdul Aziz bin Marwan, menurut mayoritas ulama
hadist apa yang terjadi di masa Abdul Aziz lebih bersifat gagasan, ataupun
kalau terjadi kodifikasi lingkupnya lebih sempit karena hanya dalam batas
wilayah mesir. Dengan demikian, kodifikasi hadist secara resmi terjadi pada
pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan.
Sejarah
hadist nabi hadist:
1.
Masa nabi
muhammad SAW
2.
Masa khulafaur
rasyidin
3.
Masa sahabat
kecil dan tabiin
4.
Masa kodifikasi
5.
Hadist pada masa
awal sampai akhir abad ke-III
6.
Hadist pada abad
IV sampai pertengahan abad ke VII
7.
Masa abad
pertengahan VII sampai sekarang
Berikut dibawah ini
penjelasannya:
1. Masa
Nabi Muhammad SAW
Masa ini dikenal
dengan ‘Ashr al-Wahy at-Takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan.Karena
pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan masih banyak hadist-hadistNabi yang
datang darinya.Ayat-ayat Al Qur’an dan hadist Nabi menjadi sumber dan petunjuk
dan sumber kebahagiaan bagi para sahabat nabi yang belum pernah mereka temukan
di zaman jahiliyah. Bahkan para sahabat berusaha menghafal Al Qur’an juga
selalu ingin berjumpa dengan Rasulullah untuk mendapatkan ajaran beliau dan
hadist-hadist beliau, bahkan hadist menjadi sumber ajaran islam kedua setelah Al
Qur’an.
Secara sengaja
para sahabat membagi tugas untuk mendapatkan informasi dari Rasulullah
SAW.Bahkan para kepala suku yang jauh dari Madinah mengutus seseorang untuk
mendapatkan informasi dari Rasulullah SAW.Tetapi pada masa Nabi sedikit sahabat
yang bisa menulis sehingga yang menjadi andalan dalam tulisan mereka adalah
ingatan mereka.Karena Allah mmberi keistimewaan kepada para sahabat yang
menghafalkan dan daya ingat yang tinggi.Mereka dapat meriwayatkan hadist dalam
bentuk syair dll.
Dalam menyampaikan hadist-hadistnya,
Nabi menempuh beberapa cara, yaitu:
1) Melalui
majlis al-’ilm (pusat/tempat pengajian)
2) Melalui
para sahabat
3) Melalui
istri-istri Nabi
4) Melalui
ceramah atau pidato di tempat terbuka
5) Melalui
perbuatan langsung
Pada masa Nabi,
hadits belum dikodifikasi secara resmi sebagaimana yang terjadi pada beberapa tahun
berikutnya.Rasulullah tidak pernah memerintah sahabat untuk menulis atau
membukukannya sebagaimana Al-Qur’an. Bahkan Nabi melarangnya, karena khawatir
nantinya hadits tercampur dengan Al-Qur’an yang saat itu masih dalam proses
penurunan. Kebanyakan penyebaran hadits oleh para sahabat dilakukan secara
lisan.
2. Masa
Khulafaur Rosidin
Masa ini dikenal
dengan at-tatsabbut wa al-iqlal min al-riwayah, yaitu masa pembatasan
dan memperketat periwayatan. Pada masa ini periwayatan hadist terjadi sejak 11
H sampai 40 H, yang disebut juga masa sahabat besar, belum begitu berkembang.
Setelah nabi
wafat, para sahabat tidak lagi mendengarkan sabda dan tidak lagi melihat
tindakan atau perilaku Nabi Muhammad SAW.Dan setelah itu munculah istilah
kritis dalam pembahasan hadist untuk menunjukkan kepedulian para sahabat
terhadap kebenaran hadist.Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus
pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi
periwayatan hadits. Pada sisi yang lain, meskipun perhatian para sahabat masih
terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak
memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka terima secara utuh ketika Nabi
masih hidup.
Dengan demikian,
para sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits, yaitu
dengan cara:
1) Bersikap
cermat dan hati-hati dalam periwayatan hadits.
2) Melakukan
penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat.
3) Mengharuskan
adanya saksi dalam periwayatan hadits.
4) Meminta
sumpah dari periwayat hadits.
5) Menerima
riwayat dari satu orang yang terpercaya.
Khalifah pertama sangat menjaga
kebenaran hadist dan pengambilan keputusan dengan sangat ketat dalam masalah
periwayatan hadist. Dan juga apa yang dilakukan oleh khalifah kedua yaitu khalifah
Umar bin Khattab seperti halnya apa yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar
dalam mengambil keputusan tentang periwayatan hadist. Antisipasi yang dilakukan
oleh para sahabat tentang kekeliruan tidak dibiarkan terus berlanjut dengan
cara mengingatkan atau menegur dan juga menjelaskan letak kekeliruan dan
mengkajinya lebih lanjut.
3. Masa
sahabat kecil dan thabi’in
Masa ini dikenal dengan ‘ashr
intisyar al-riwayah, yaitu masa dimana hadits tidak lagi hanya berpusat di
Madinah tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai
tokoh-tokohnya.
Pada masa ini Al-Qur’an sudah
dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga mereka tidak mengkhawatirkan lagi.
Selain itu, pada masa akhir periode Utsman bin Affan para ahli hadits sudah
menyebar ke beberapa wilayah Islam dan ini menjadi kemudahan bagi thabi’in
untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Kemudian muncul sentra-sentra
hadits diberbagai wilayah, seperti Madinah, Makk’ah, Kufah, Basrah, Syam dan
Mesir.
Ada
beberapa pendapat tentang hukum kodifikasi hadist:
1) Larangan
penulisan hadist terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisannya diberikan
pada periode akhir kerasulan.
2) Larangan
penulisan hadist itu di tunjukkan pada orang yang kuat hafalannya dan tidak
dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-Qur’an.
Izin menulis hadist diberikan kepada orang yang pandai menulis dan tidak dikhawatirkan
salah serta bercampur dengan Al-Qur’an.
3) Larangan
itu ditunjukkan bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan tulisanya
keliru, sementara yang pandai menulis tidak dilarang menulis hadist.
4) Larangan
menulis hadist dicabut ( dimansukh) oleh izin menulis hadist, karena tidak
dikhawatirkan tercampurnya catatan hadist dengan Al-Qur’an.
5) Larangan
itu bersifat umum, sedangkan penulisan hadist bersifat khusus kepada para
sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan catatan hadist dan catatan Al-Qur’an
6) Larangan
berlaku ketika wahyu masih turun, belum
dihafal dan dicatat, maka penulisan harus diwajibkan.
Ada sebagian sahabat yang memiliki
catatan yang disebut dengan shahifah untuk mencatat sebagian hadist yang
diterima dari Nabi. Diantara sahabat juga ada yang mendapat catatan hadist
Nabi, Abdullah bin Amr bin Al Ash dengan catatan yang diberikan Nabi adalah as-shodiqah.
4. Masa
kodifikasi
Pada masa ini terjadi kegiatan
kodifikasi hadits pada masa pemerintahan Islam Umar bin Abdul Aziz (99 H-101
H), khalifah ke-8 Bani Umayyah.
Malik bin Annas sebagai penyusun
kitab al-Muwatta, sebuah kitab yang selesai disusun pada tahun 143 H dan
merupakan kitab hasil kodifikasi yang pertama dan dapat diwariskan kepada
generasi sekarang. Kitab ini selain berisi hadits marfu’ (hadits yang
disandarkan kepada Nabi) juga berisi hadits mauquf (pendapat para
sahabat) dan hadits maqthu’ (pendapat para thabi’in).
Kodifikasi hadist juga pernah
menjadi bahasan utama dalam kitab adwa ala alussunah waljamaah didalam
penjelasan kodifikasi hadist membutuhkan tidak kurang dari 9 artikel dan buku
yang menjelaskan tentang hadist.
5. Kodifikasi
hadist pada abad ke tujuh sampai sekarang
Kodifikasi yang dilakukan di abad
ketujuh dengan metode menertibkan isi
kitab-kitab hadist, menyaringnya, serta menyusun kitab-kitab takhrij membuat
kitab-kitab jami’ yang bersifat universal, kitab-kitab yang mengumpulkan hadist
hukum mentakhrij hadist-hadist yang terdapat dalam sebuah kitab. Mentahrij
hadist-hadist yang populer diwarga. Menyusun hadist diiringi dengan menerangkan
derajatnya, mengumpulkan hadist-hadist shohih bukhori, serta shohih muslim.
Periode ini memanglah tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya disaat timbul
kitab-kitab hadist yang model penyusunannya nyaris sama seperti kitab-kitab
tahkrij athrof kecuali penyusunan serta pembukuan hadist-hadist yang tidak ada
dalam kitab hadist tadinya dalam suatu kitab yang diketahui dengan sebutan
kitab zawaid. Kitab zawaid antara lain: zaaid ibn majah suatu hadist yang
berisi hadist-hadist yang diriwayatkan ibnu majjah yang tidak terdapat pada
kitab lain.
Kitab-kitab yang disusun pada abad
ini antara lain adalah:
1) Subul as-salam oleh muhammad
bin ismail al-shan’ani
2) Fath al-allam shiqid hasan khan
3) Al jami’ ashogir min al hadist al bashir al nadziroleh
as-syayuti yang di syarahkan oleh imam abdur rauf al nawawi yang berjudul fayd al qadir dan oleh ali bin
muhammad al-izzi dengan judul as-sirat al-munir
4) Lubab al hadist oleh asuyuthi yang di syarah kan oleh tanqih al-qawl
al-hadist.
Faktor-faktor terjadinya kodifikasi hadist:
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kodifikasi
hadits pada masa Umar bin Abdul Aziz, yaitu:
1) Para
ulama hadits telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadistakan hilang
bersama dengan wafatnya mereka.
2) Banyak
berita palsu yang dibuat oleh pelaku bid’ah yang berupa hadits palsu.
Faktor-faktor terjadinya kodifikasi hadist ada 2 faktor
yaitu internal dan eksternal:
·
Faktor internal:
1) Pentingnya
menjaga autentitas dan eksistensi hadist.
2) Semangat
untuk menjaga hadist sebagai salah satu warisan Nabi Muhammad.
3) Semangat
keilmuan yang tertanam dalam diri umat Islam saat itu termasuk di dalam
aktifitas izin untuk menulis hadist pada saat itu.
4) Adanya
kebolehan dan izin menulis pada saat itu.
5) Para
penghafal dan periwayat hadist banyak yang meninggal karena perang ataupun
lainya.
·
Faktor
eksternal:
1) Penyebaran
Islam yang daerah kekuasaannya semakin luas dan tersebar di berbagai daerah.
2) Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadist yang disebabkan oleh perbedaan politik dan aliran.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kita dapat
mengetahui sejarah kodifikasi hadist yang pernah terjadi sejak masa Nabi sampai
masa kodifikasi hadist itu sendiri.Hal tersebut dapat membantu kita dalam
melihat dan memahami sejarah kodifikasi hadist yang terjadi.
Dari pembahasan yang telah
dijelaskan diatas kita juga dapat menyimpulkan bahwasannya sejarah kodifikasi
sebenarnya sudah dimulai ketika masa khalifah Umar bin Khattab tetapi urung
dilaksanakan dan alasannya tidak dapat diketahui. Oleh karena itu, secara resmi
kodifikasi hadist terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Post a Comment
Post a Comment